RAFAEL berdiri
di samping Morgan sambil menyisir rambutnya yang berdiri kayak duri landak
dengan jari-jarinya.
“Gan, pokoknya
kalo anak-anak baru itu udah pada datang, lo mesti ngeluarin seluruh kemampuan
lo buat bikin mereka takut,” ujarnya bak perwira yang sedang memerintah anak
buahnya.
“Iya, gue
tahu,” respons Morgan singkat. Cowok bertubuh tinggi itu berdiri tegak sambil
celingak-celinguk memerhatikan gerbang sekolah.
Udara pagi itu
masih terasa agak lembap. Jalanan masih basah bekas diguyur hujan subuh tadi.
Tapi beberapa anak yang tergabung dalam Organisasi Siswa Intra Sekolah SMAN 6
BANDUNG udah pada kumpul di sekolah sejak jam 06.00 dengan semangat ‟45. Nggak ada seorang pun yang pasang
tampang lemas. Apalagi Handi Morgan Winata, yang lebih beken dengan panggilan
“Morgan, cowok tinggi berambut model cepak yang udah hampir setahun ini
memegang jabatan ketua OSIS. Dia udah tiba di sekolah sejak jam 05.30, waktu
hujan masih dengan riangnya menyiram tanah pertiwi dan gerbang sekolah belum
dibuka oleh Pak Susilo, si penjaga sekolah.
Hari ini
adalah hari pertama MOS (Masa Orientasi Siswa) buat anak-anak kelas 1 yang
untuk pertama kali mengenakan seragam putih abu-abunya. MOS ini sebenarnya
diciptakan untuk mengakrabkan para guru dengan siswa baru, kakak-kakak kelas
dengan junior-juniornya, juga sarana untuk memperkenalkan siswa baru pada
lingkungan sekolah dan program-program sekolah. Tapi bagi beberapa anggota
OSIS, terkadang MOS disalahgunakan. Di balik tujuan baik penyelenggaraan MOS ini
sering kali ada maksud terselubung, yaitu balas dendam.
Sudah menjadi
tradisi turun-temurun bahwa selama MOS yang diadakan tiga hari ini, para
anggota OSIS punya wewenang untuk “mengatur” adik-adik kelas mereka yang baru.
Katanya sih biar para siswa baru itu punya mental kuat untuk menghadapi
kerasnya dunia SMA kelak, juga biar mereka bisa menanggalkan sifat manja yang
masih mereka bawa dari lingkungan SMP. Tapi sebenarnya tetap saja balas dendam
menjadi tujuan utama para senior ini. Apalagi buat yang sudah duduk di kelas 3,
MOS kali ini kan merupakan MOS terakhir buat mereka. Kapan lagi punya
kesempatan bentak-bentak dan ngerjain orang tanpa perlu takut dibalas?
“Eh, Raf,
anak-anak udah pada siap di posisi masing-masing?” tanya Morgan.
Rafael
menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Lo tenang aja, semua udah stand by di
tempat masing-masing.”
Morgan
manggut-manggut. Kepalanya masih sibuk bergerak dan matanya terus memantau
gerbang sekolah tanpa berkedip.
“Itu mangsa
kita udah datang!” seru Morgan senang. Bibirnya merekah memperlihatkan gigi
kelinci yang nangkring di gusinya.
“Mana...
mana...?” Rafael maju beberapa langkah sambil melihat ke arah gerbang sekolah.
“Iya... benar. Mereka udah datang.”
“Siapa aja
yang bertugas menjaga gerbang dan memeriksa kelengkapan atribut anak-anak baru
itu?” tanya Morgan.
“Mmm...Reza,Bisma,Ilham,Dicky...
sama satu lagi... si Rangga.”
Morgan
tersenyum puas. Lima orang yang baru saja disebut Rafael adalah anak buah
kesayangannya. Soalnya selain bertampang sangar, mereka juga tegas, bermulut
pedas, dan pantang disogok. Morgan yakin lima orang itu akan melaksanakan tugas
mereka dengan sangat baik.
@(^-^)@
“Woi, jalannya
lelet banget sih? Keturunan siput semua, ya?!” Bisma meneriaki segerombolan
anak yang berjalan kaki ke arah gerbang sekolah.
Penampilan
anak-anak itu terlihat sangat unik. Mereka memakai topi yang terbuat dari batok
kelapa yang dibelah menjadi dua dengan warna yang berbeda-beda. Di atas batok
kelapa itu ditempeli bulu-bulu ayam yang disusun berjajar sehingga membentuk
kipas. Selain itu mereka juga mengenakan kalung dari jengkol dan pada kalung
itu digantung karton putih yang bertuliskan nama julukan mereka. Buat siswa
perempuan, rambut mereka dikucir kecil-kecil dan diikat pita berwarna senada
dengan topi mereka. Tas yang menggantung di punggung terbuat dari sarung bantal
yang nggak tahu gimana caranya bisa disulap jadi ransel. Benar-benar
pemandangan yang begitu menarik perhatian. Lucu banget!
“Woi, anak
siput! Kalau dalam hitungan ketiga kalian belum juga sampai di hadapan saya,
saya suruh kalian lompat kodok dari situ!” ancam Dicky.
“Satu...!”
Dicky mulai menghitung.
Gerombolan
anak-anak itu bergegas berlari menuju kakak-kakak kelas mereka dengan wajah
ketakutan.
“Tiga...!
Cepat lompat kodok semuanya!” bentak Dicky.
Para siswa baru itu pada bengong. Perasaan tadi baru hitungan
kesatu, kok sekarang udah tiga. Duanya dikemanain? Bukannya tetap berlari,
mereka malah berhenti dan pasang tampang blo‟on.
“Kalian ngerti
lompat kodok nggak sih? Cepat lompat kodok dari situ!” Ilham ikut
bentak-bentak.
Suara dan
tampang Ilham yang nyeremin bikin anak-anak baru itu langsung jongkok dan mulai
melompat kayak kodok. Mereka meletakkan kedua tangan di belakang kepala dan
mulai melompat dengan kedua kaki.
“Semuanya lompat
sambil ikutin nyanyian saya ya! Harus yang keras!” perintah Rangga yang berdiri
di depan barisan anak-anak yang mulai melompat.
Rangga
memimpin barisan sambil bernyanyi, “Kodok ngorek kodok ngorek... ngorek di
pinggir kali. Teot tet blung teot tet blung... teot teot tet blung.”
Anak-anak yang
melompat di belakangnya ikut bernyanyi mengikuti Rangga. Warga yang tinggal di
sekitar gedung sekolah serentak keluar dari rumah masing-masing karena
mendengar keramaian yang terasa sangat aneh. Para pengguna jalan juga berhenti
sejenak untuk menikmati pemandangan itu. Sebagian besar dari mereka tersenyum
dan berusaha mengulum tawa, tapi ada juga sekelompok ibu-ibu yang mengumpat
karena merasa kegiatan ini konyol dan nggak ada gunanya.
Namun apa mau
dikata, ini kan tradisi turun-temurun. Lagi pula tradisi ini, walaupun
kelihatannya agak kejam, nggak pernah sampai menimbulkan korban jiwa kok. Malah
biasanya membawa keuntungan tersendiri. Misalnya, pernah ada orangtua murid
yang datang ke sekolah untuk berterima kasih, karena anak mereka yang pemalu
dan pendiam, setelah digojlok lewat program MOS selama tiga hari, anak itu
malah bisa lebih terbuka dan beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang baru.
Dan efek
positif yang lain, selesai MOS, anak-anak baru bisa langsung akrab dengan kakak
kelas. Malah terkadang ada yang terlibat cinlok alias cinta lokasi. Makanya
sampai sekarang, di saat tradisi MOS mulai dihapus di beberapa sekolah, SMA 6
BANDUNG tetap mempertahankannya.
“Nyanyinya
yang keras dong! Mana suaranya!” bentak Reza. “Yang udah sampai di hadapan
kakak yang rambutnya jabrik itu langsung berdiri dan buat barisan.”
Bisma, yang
tahu bahwa dirinyalah yang dimaksud Reza, langsung mengambil posisi dan
mengatur beberapa anak yang sudah sampai di hadapannya.
“Kalian yang
baru datang, langsung lompat kodok dan ikutan nyanyi!” seru Bisma kepada
sekelompok anak yang baru saja tiba.
“Hei! Kamu
ngapain lompat kayak gitu?” tegur Ilham dengan mata melotot ke arah seorang
cewek yang sedang asyik melompat dengan kedua tangan terjulur ke depan, bukan
di belakang kepala.
“Saya, Kak?”
tanya cewek itu dengan tampang heran.
“Iya, kamu!” Bisma
membaca karton nama yang menggantung di leher anak baru itu. “Semprul, ke sini
kamu!” ujar Bismar ketus.
“Lho, salah saya
apa, Kak?” tanya cewek itu.
“Berdiri kamu,
dan ikut saya!” perintah Bisma.
Cowok itu
menurut dan mengikuti Bismar keluar dari kelompoknya.
“Kamu nggak
tau cara lompat kodok, ya?” tanya Bisma berusaha sabar begitu berhadapan dengan
anak baru itu.
“Tau, Kak.
Bahkan saya pernah melakukan observasi khusus pada kodok-kodok yang sering
numpang nginep di kolam ikan rumah saya.”
“Saya nggak
minta kamu melucu! Kamu mau sok jagoan, ya?” Bisma mulai kehilangan kesabaran.
“Saya kan cuma
melakukan observasi aja, Kak. Kok dibilang sok jagoan sih? Emang sihs aya
kurang kerjaan. Tapi saya sama sekali nggak ada maksud untuk sok jagoan kok.
Nah, kebetulan tadi saya disuruh lompat kodok, ya saya terapkan aja hasil
observasi saya itu. Soalnya, menurut hasil observasi saya, kodok tuh melompat
dengan menggunakan keempat kakinya. Kedua kaki depannya bukan ditaruh di
belakang kepala kayak teman-teman saya. Mereka salah, Kak. Yang benar ya kedua
tangan kita juga harus digunakan untuk melompat supaya mirip kodok. Makanya saya
melompat seperti itu. Kan disuruhnya lompat kodok,” cewek itu menjelaskan
dengan tampang serius.
Bisma menarik
napas panjang. Dia agak bingung. Sebenarnya nih cewel memang bermaksud melawan
atau memang agak tulalit. Soalnya kalau dilihat dari tampang innocent-nya,
cewek ini tampaknya sama sekali nggak ada niat untuk memberontak. Bisma
berpikir sejenak, dan ia merasa ada baiknya kalau nih anak aneh langsung
diserahkan aja ke Morgan daripada dia salah mengambil keputusan.
“Kamu ikut
saya!” perintah Bisma.
“Ke mana, Kak?
Saya jangan diapa-apain, ya. Nanti mama saya marah kalau saya melakukan hal
yang berlawanan dengan agama. Lagi pula kalo boleh jujur, saya masih suka sama
cowok, Kak,” kata cewek itu dengan tampang memelas.
Bisma melotot
memandang cewek aneh yang berdiri di hadapannya. “Lo pikir gue cowok apaan?”
“Iih, Kakak...
Gitu aja kok marah sih?”
Bisma
benar-benar nggak tahan. Tangannya terkepal menahan marah. Dia langsung
berbalik lagi dan berjalan menuju pos yang ditempati Morgan dan Rafael selaku
dewan pengadilan yang bertugas mengatur anak-anak aneh yang suka melanggar
aturan MOS.
Si cewek aneh
itu berjalan di belakang Bisma, tetap dengan wajah tanpa dosa.
“Gan, ada
pasien buat lo nih! Namanya Semprul!” ujar Bisma kesal ketika sudah sampai di
pos Morgan.
Cewek aneh itu berdiri agak jauh dari tempat Morgan, Rafael,
dan Bisma. Tapi tatapan tajamnya lurus ke arah Morgan. Senyumnya merekah dan
memperlihatkan senyuman manisnya.
“Apa
kasusnya?” tanya Rafael.
“Anak aneh,”
jawab Bisma singkat. “Cocok banget sama julukannya.”
Morgan menatap
cewek yang berdiri nggak jauh dari hadapannya. Anak aneh? Apa yang aneh dari
cewek itu? Bahkan menurut Morgan, tampangnya oke kok. Badannya yang tinggi dan
langsing bikin tu cewek jadi kelihatan cute. Mukanya yang rada oriental
mengingatkan Morgan pada bintang film kesayangan Mama, si Kim O Eun itu tuh.
Morgan yakin banget, nggak lama lagi nih cewek pasti bakal jadi salah satu
idola sekolah. Tampangnya innocent banget, apalagi senyumnya itu. Tapi
entah kenapa, Morgan merasa wajah cewek itu mirip dengan orang yang dikenalnya.
Mm... siapa ya?
“Memangnya dia
bikin salah apa,Bis, sampai lo bilang dia anak aneh?” tanya Morgan heran. “Apa
atribut yang dipakainya nggak lengkap?”
“Kalau soal
atribut sih gue nggak tau ya, soalnya gue sama sekali belum periksa,” jelas
Bisma. “Tapi yang pasti gue serahin dia ke elo karena dia... asli banget...
orang aneh.”
“Apanya yang
aneh sih?” Rafael penasaran.
“Lo tanya aja
sendiri,” kata Bisma. “Gue mau balik ke pos gue.”
Rafael dan
Morgan berpandangan heran. Bisma berjalan menjauh dan kembali bergabung dengan
timnya yang sedang berteriak-teriak ke arah anak-anak baru.
Rafael menatap
“cowok aneh” yang masih berdiri di tempatnya tadi, lalu memanggilnya, “Heh,
Semprul, cepat ke sini!”
Cewek itu
celingak-celinguk ke kanan dan kiri, lalu kembali menatap Rafael sambil
menunjuk dirinya sendiri. Ia seperti hendak memastikan bahwa memang dia yang
dipanggil Rafael barusan.
“Iya, kamu.
Memang kamu kira siapa lagi? Baca dong papan nama di dada kamu!” Rafael jadi
agak sewot.
Cewek itu
berjalan mendekati Rafael dan Morgan.
“Kamu tahu
kenapa kamu dibawa menghadap kami?” tanya Rafael begitu cewek itu udah berdiri
di hadapannya.
“Mm... awalnya
sih saya kira kakak yang tadi itu naksir sama saya dan punya maksud jelek sama
saya, tapi sekarang saya sadar...,” jawab cewek itu menggantung kalimatnya.
“Sadar apaan?”
tanya Morgan tegas.
“Saya sadar...
bahwa kakak tadi ternyata hanya ingin mengantar saya untuk bertemu dengan
pangeran yang selama ini saya cari... yang selama ini selalu hadir dalam setiap
mimpi-mimpi saya. Dan sekarang pangeran itu sudah berdiri tepat di hadapan
saya,” jawab cewek itu enteng. Ia terus menatap Morgan dengan sorot memuja.
====TBC====
No Bully -
No Copas -
Maaf kalau jelek...........
0 komentar on "My Rival Is My Love Part 1A"
Posting Komentar