“Terima kasih atas
pujiannya, tapi sayang banget, saya nggak mempan sama rayuan gombal. Kamu harus
tahu, ini bukan tempat pelatihan buat pelawak atau badut. Kalau kamu mau jadi
pelawak atau badut, kamu salah tempat. Kamu mesti bilang sama orangtua kamu
untuk segera memindahkan kamu dari sekolah ini. Sekolah ini nggak butuh manusia
konyol kayak kamu!” jelas Morgan dengan nada pedas.
“Saya nggak
pernah berminat jadi badut atau pelawak, Kak. Saya cuma ingin jadi... pacar
Kakak.”
“kamu kira
kamu itu lucu, apa?!” benta Morgan.
“Sama sekali
nggak lucu, Kak, tapi ada juga sih orang yang bilang kalau saya lucu dan
manis,” jawab cewek itu sambil tetap tersenyum manis.
“Kalau begitu,
orang-orang yang menganggap kamu lucu itu adalah manusia-manusia semprul kayak
kamu!” maki Morgan.
“Wah, kalau
itu sih saya nggak tahu, Kak.”
“Udah, Gan...
periksa perlengkapannya aja dulu,” saran Rafael.
Morgan menarik
napas lalu mengembuskannya perlahan. Benar kata Bisma, cewek di hadapannya ini
aneh. Morgan juga nggak tahu apakah cewek itu bermaksud cari-cari masalah atau
bukan. Semua masih nggak jelas.
“Keluarin
semua perlengkapan yang harus kamu bawa hari ini!” perintah Rafael.
Cewek itu
menurut. Dia mengeluarkan berbagai macam barang dari dalam tasnya. Rafael mulai
memeriksanya satu per satu. Semuanya lengkap, nggak ada yang kurang.
“Tunggu dulu!
Kalung apa yang kamu pakai itu?” tanya Morgan sambil menunjuk kalung yang
menggantung di leher cewek itu. “Bukannya yang disuruh itu kalung dari
jengkol?”
“Oh... begini,
Kak, ceritanya. Saya udah suruh pembantu saya beli jengkol buat dibikin kalung.
Tapi dia salah pengertian. Dia kira saya lagi pengin makan semur jengkol.
Jadinya jengkolnya dimasak deh sama dia. Tapi saya nggak bisa marah, soalnya
semur jengkol buata pembantu saya itu emang enak banget. Berhubung yang ada di
rumah tinggal pete, ya udah saya bikin aja dari pete. Gitu Kak ceritanya.”
Rafael berdiri
di samping Morgan sambil berusaha mengulum tawa. Gaya bicara si Semprul ini
memang asli lucu. Mimik mukanya yang innocent bikin orang yang mendengar
ceritanya mau nggak mau jadi percaya. Tapi itu nggak berlaku buat Morgan.
“Kamu pikir
saya percaya sama cerita kamu itu?” tanya Morgan.
“Harus
percaya, Kak, karena saya memang jujur kok. Apa muka saya kayak muka penipu?
Nggak, kan? Kalau mau, Kakak boleh tanya sama pembantu saya di rumah... atau
saya suruh dia bikin semur jengkol lagi buat Kakak. Saya yakin, kalau Kakak
udah mencicipinya sedikit saja, Kakak juga nggak akan bisa marah sama pembantu
saya itu.”
“Saya nggak peduli dan
jangan coba-coba mempermainkan saya...! Sekarang juga saya minta kamu push-up
tiga puluh kali!” perintah Morgan.
“Push-up,
Kak?” tanya cowok itu.
“Iya. Cepat!”
bentak Morgan. Suaranya yang keras membuat semua mata memandang ke arahnya.
Cewek itu
tersenyum manis lalu berkata, “Kalau Kakak yang suruh, apa pun akan saya
lakukan.” Dia meletakkan tasnya di tanah dan mulai mengambil posisi push-up.
Lalu perlahan dia mulai push-up di bawah hitungan Morgan.
@(^-^)@
“Oke,
semuanya!” perintah Bisma yang menempatkan diri di tengah aula. “Bikin
lingkaran besar!”
Anak-anak baru
itu mulai bergerak dan membuat lingkaran sesuai perintah senior mereka.
“Woi, pada tau
lingkaran besar nggak sih!” bentak Reza. “Atau masih kayak anak TK, bikin
lingkarannya harus sambil pakai nyanyian baru ngerti?!”
“Yang di
sana!” seru Rafael, “bikin lingkaran besar ya, bukan malah ngumpul dan ngobrol
sendiri!”
Teriakan demi
teriakan bergema di seluruh aula. Seandainya saja boleh, anak-anak kelas satu
itu pasti akan sangat berterima kasih bila diizinkan menyumpal telinga mereka
dengan kapas. Padahal mereka udah sebisa mungkin melaksanakan perintah
kakak-kakak senior itu dengan baik. Tapi tetap aja ada yang salah.
“Kamu yang
kecil kayak tuyul!” teriak Dicky. “Jangan malah mendem di pojok. Nanti kalau
kamu ilang digondol jin bisa bikin repot, tau!”
Tawa anak-anak
meledak.
“Siapa yang
suruh ketawa!” bentak Ilham. “Keterlaluan sekali kalian, ngetawain teman
sendiri!”
Aula mendadak
sunyi senyap. Nggak ada yang berani bersuara apalagi ketawa.
“Oke, sekarang
semuanya dengar baik-baik!” suara Rangga memecah keheningan. “Tadi pagi kalian
telah diminta untuk mengumpulkan surat cinta dan surat benci untuk kakak senior
kalian kepada wali kelas masing-masing....
“Tapi ada satu
surat yang rasanya aneh dan saya mau pengirim surat itu maju ke tengah
lingkaran,” lanjut Rangga. “Shareen Falencya dari kelas 1 D.”
Cewek yang
namanya disebut itu celingak-celinguk nggak jelas. Dan setelah tubuhnya
didorong oleh teman-temannya, dia pun maju ke tengah lingkaran.
“Kamu yang
namanya Shareen Falencya?” tanya Dicky begitu Shareen sudah berdiri di
hadapannya.
“Iya, Kak,”
jawab cewek itu sambil cengengesan dan garuk-garuk kepala.
“Kenapa kamu
garuk-garuk kepala?” tanya Dicky ketus. “Ketombean, atau memang kamu keturunan
monyet?”
Weits, kasar!
“Ih, Kakak kok
ngomongnya gitu sih?” jawab Dicky. “Saya kan cuma sedikit salting karena harus
berdiri di tengah-tengah orang banyak gini. Kesannya kayak lagi jumpa fans gitu
deh. Mmm... Kakak mau minta tanda tangan saya?”
Anak-anak
kembali tertawa.
“Diam
semuanya!” bentak Bisma.
Ruangan
kembali hening.
Reza maju
mendekati Shareen. “Lo mau ngelawan ya?!”
Shareen
menggeleng sambil tersenyum.
Rafael
buru-buru menarik Reza. Dia nggak mau sampai terjadi keributan. “Sabar, Za, dia
emang rada aneh. Cocok sama nama julukannya: Semprul. Tadi dia habis kena
hukuman push-up lagi dari Morgan. Tapi kelihatannya dia nggak berniat
melawan kok.”
Reza menurut
meski dengan setengah hati.
Kali ini
giliran Ilham yang maju dan mendekati Shareen dengan sepucuk surat di
tangannya.
“Dengar
baik-baik, Shareen Falencya!” seru Ilham. “Kamu diperintahkan untuk menulis
surat cinta dan surat benci. Tapi kenapa yang kamu kumpulkan cuma satu surat
doang?”
“Ooo... itu
karena di dalamnya udah lengkap terdapat ungkapan cinta dan ungkapan benci
untuk pangeran yang telah menawan hati saya.”
“Oke kalau
begitu,” kata Ilham. “Sekarang saya minta kamu bacakan surat yang udah kamu
tulis ini dengan suara lantang.”
Semua pengurus
OSIS yang berkumpul di tengah lingkaran bertepuk tangan dan berteriak riuh.
Cuma Morgan yang berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada dan
tampangnya manyun luar biasa.
“Tapi, Kak,
surat ini nggak bisa saya bacakan,” sahut Shareen.
“Kenapa?”
Ilham bertanya. “Kamu malu?”
“Bukan, Kak,”
jawab Shareen. “Tapi surat ini harus dinyanyikan.”
“Dinyanyikan?”
Ilham jadi heran.
Shareen
mengangguk. “Karena surat ini adalah lagu cinta. Jadi akan menjadi lebih indah
dan bermakna apabila dinyanyikan.”
“Kalau begitu
ya nyanyikan aja,” celetuk Bisma.
“Mmm... boleh
nggak kalau saya menyanyikannya sambil memainkan piano itu?” Shareen meminta
izin sambil menunjuk ke arah piano yang ada di depan aula.
Piano itu
memang selalu berada di situ. Biasanya sih digunakan saat ada acara-acara
sekolah yang membutuhkan iringan musik.
“Boleh aja
kalau kamu memang bisa,” jawab Dicky.
Shareen tersenyum simpul lalu berjalan mendekati piano itu.
Dia duduk dan membuka tutup piano, lalu menempatkan jemarinya di atas deretan
tuts berwarna hitam dan putih itu.
Beberapa
anggota OSIS berjalan mendekat dan memasang mikrofon di dekat piano. Mereka
juga memberikan mikrofon kecil yang kemudian dipasang di kerah baju Sareen agar
suara Shareen dapat terdengar ke seluruh sudut aula.
“Tes... tes...
satu dua tiga...,” shareen mencoba mikrofonnya. “Oke, lagu sederhana ini saya
persembahkan kepada seorang cowok yang telah membuat saya jatuh cinta. Handi
Morgan Winata alias Kak Morgan.”
Tepuk tangan
memenuhi aula. Ada yang berteriak, ada yang bersiul, bahkan ada yang
melompat-lompat nggak jelas.
Morgan
merengut kesal. Dia beranjak hendak meninggalkan aula, tapi teman-temannya
langsung mencegat langkahnya. Morgan pun mengurungkan niatnya. Dia cuma bisa
berdiri diam dengan tampang jutek. Jelas banget niat teman-temannya pengin
ngerjain dia. Soalnya, di antara surat-surat yang diterima wali kelas satu,
cuma ada satu surat cinta yang ditujukan untuk Morgan. Ya surat dari shareen
ini. Selebihnya Morgan cuma menerima setumpuk surat benci.
Selama MOS
berlangsung, Morgan menjadi senior yang paling ditakuti. Dia nggak terlalu suka
ngomel atau ngebentak-bentak, tapi kalau udah bersuara nyeremin banget. Dia
juga yang paling tega ngasih hukuman lari sepuluh kali keliling lapangan. Kalau
ngomong pedesnya minta ampun. Dan sorot matanya itu lho, tajam banget. Nggak
ada satu pun junior yang nggak disiplin bisa lolos dari cengkeraman Morgan.
Bagi morgan, nggak ada tuh yang namanya kompromi. Senior lain sih ada juga yang
galak, tapi nggak ada yang semenakutkan Morgan.
Nada-nada yang
mengalun dari piano membuat semua orang terdiam. Shareen memainkan jemarinya di
atas piano sambil tersenyum menatap Morgan. Morgan buang muka. Tapi Shareen
tetap menatapnya, melantunkan lagu cinta dari bibirnya.
Ketika pagi
datang
Ku tak
pernah mengira
Kan bertemu
denganmu
Di depan
sekolahku
Jantungku
pun berdetak
Sungguh
sangat cepatnya
Dan ku tahu
ku tlah jatuh cinta
Ketika
malam datang
Sepi yang
kurasakan
Tanpamu di
sisiku
Galau
selimuti kalbu
Ingin ku
membencimu
www.rajaebookgratis.com
Karna kaucuri hatiku
Dan buatku
tergila-gila
Tuk
mencintaimu
Reff :
Percayalah
sayangku
Kan kubawa
kau ke surga
Ku berjanji
padamu
Takkan
meninggalkanmu
Meskipun
dunia tak inginkan dirimu
Ku akan
slalu di sisimu
Tepuk tangan
membahana di seluruh sudut aula. Sorakan riuh rendah menutup pertunjukan
singkat Shareen. Shareen berdiri dan berjalan ke sisi kanan piano. Sambil
tersenyum lebar dia membungkukkan badannya berulang kali layaknya selebriti
yang habis ngadain konser. Ia melambaikan tangannya dan meniupkan ciuman ke
sekelilingnya. Gelak tawa, sorakan, siulan, dan tepuk tangan terus mengalir.
“Diam
semuanya!” bentakan Morgan yang tiba-tiba membuat seisi aula mendadak hening.
Anak-anak terdiam karena kaget.
Dikcy
mendekati morgan lalu berbisik heran, “Kenapa sih, Gan?”
Morgan nggak
menjawab. Dia malah berjalan mendekati shareen yang masih berdiri di sisi piano
sambil tersenyum.
“Kenapa kamu
senyum-senyum?” tanya Morgan sinis.
“Karena Kakak
ganteng,” Morgan langsung menjawab tanpa ragu.
Suit...
suit...! Siulan terdengar dari arah anak-anak kelas satu yang sedang berdiri.
“Siapa yang
bersiul?” tanya Morgan dengan suara keras dan tegas. Matanya melotot ke arah
asal suara.
Hening. Nggak
ada yang berani ngaku.
Morgan kembali
menatap Shareen yang masih berdiri dan tersenyum di depannya.
“Apa lagu itu
kamu ciptakan buat saya?” kali ini suara Morgan terdengar lebih halus.
Shareen
mengangguk. “Iya, lagu itu saya ciptakan khusus untuk Kakak.”
“Kalau begitu
saya sarankan, jangan pernah kamu menyanyikan lagu itu di sekolah ini,” kata
Morgan dengan nada mengancam. “Lebih baik kamu nyanyi di bus kota aja,
itung-itung bisa dapat uang saku ekstra. Karena kalau kamu berani menyanyikan
lagu itu di sekolah ini lagi, saya tidak akan memberikan kamu uang recehan,
tapi air comberan!”
“Kok gitu sih,
Kak?” tanya Shareen. “Padahal Indra Lesmana pernah memuji suara saya loh waktu
saya ikut audisi Indonesian Idol 1. Katanya suara saya khas dan unik. Teknik
falseto saya juga top. Tapi sayangnya, waktu itu saya mundur gara-
gara takut Delon merasa tersaingi deh saya. Maklumlah, saya
ini orangnya suka nggak enakan.”
Tawa kembali
meledak. Para senior alias anggota OSIS berusaha sebisa mungkin mengulum tawa.
Bagaimanapun Morgan kan ketua mereka. Kalau mereka ikut tertawa, itu sama aja
mereka ngetawain Morgan.
Morgan
benar-benar keki. Kalau saat ini bukan acara MOS, Morgan yakin tinjunya sudah
bersarang di wajah cewek jayus ini.
“Semua diam!”
bentak Morgan kesal. “Dan kamu... kembali ke kelompok kamu!”
Kayaknya,
cewek satu ini akan benar-benar mengusik kehidupan Morgan.
====TBC====
No Bully -
No Copas -
Maaf kalau jelek...........